Kamis, 18 Juni 2009

KEWASPADAAN ANCAMAN PERANG YANG SEMAKIN KOMPLEKS BERDASARKAN KONDISI GLOBAL SAAT INI

Berdasarkan pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perang yang terjadi disetiap belahan dunia pada akhirnya selalu menimbulkan kehancuran di segala sendi kehidupan, menimbulkan kesengsaraan, kebencian, permusuhan serta sulit untuk memulihkan pada keadaan semula. Perang yang dilakukan oleh beberapa negara merupakan keharusan selama masih terdapat kelompok yang bertentangan dan menghalangi kepentingannya disamping perang adalah cara untuk mempertahankan hidupnya, sehingga selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kwalitas dan kwantitas militernya baik personil, materiil dan teknologi persenjataan untuk siap setiap saat menghadapi perang dan memenangkan setiap pertempuran yang dihadapi.

Letak geografi Indonesia yang berada pada posisi silang dunia memiliki nilai yang sangat strategis disamping itu Indonesia juga memiliki potensi sumber daya alam yang sangat kaya yang belum dimanfaatkan secara optimal, di lain pihak banyak negara maju yang telah memiliki industri dengan menggunakan teknologi canggih namun kekurangan bahan baku untuk industrinya dan bahan baku tersebut ada di Indonesia, sehingga ada kekhawatiran bila ada negara-negara tertentu yang ingin menguasainya secara paksa dengan cara-cara perang/invasi. Bagi bangsa Indonesia perang adalah jalan terakhir yang terpaksa ditempuh bila upaya dengan cara damai tidak berhasil. Pertahanan negara Indonesia diselenggarakan dalam suatu sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah serta segenap sumber daya nasional dalam arti bila terjadi perang akan dikerahkan seluruh kekuatan dan sumber daya nasional untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dari bangsa lain yang mengancam NKRI.

Posisi Indonesia yang strategis bisa mengundang kerawanan yang sewaktu-waktu dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara. Hal tersebut karena jika dilihat dari jalur lalu lintas laut sebagai media komunikasi dunia internasional yang menghubungkan dua kawasan. Sebagai negara kepulauan, sumber kekayaan laut demikian berlimpah dan belum dimanfaatkan oleh bangsa ini, justru lebih banyak dieksploitasi oleh negara lain. Perlahan tapi pasti, perbedaan dua kepentingan ini akan menimbulkan gesekan yang dapat berakibat pada terjadinya konflik terbuka. Kebijaksanaan pembangunan kekuatan pertahanan negara selama ini tidak mendapatkan prioritas dan arah yang jelas, yang terjadi justru pengkroposan profesi secara sistematis. Dari segi alat utama dan sistem senjata, kondisi TNI sangat memprihatinkan dan dihadapkan pada kondisi peralatan yang sudah tidak layak. Krisis moneter yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis politik merupakan beban dalam mewujudkan stabilitas keamanan nasional, yang secara alami mengandung potensi konflik. Hal ini masih perlu mendapat perhatian meskipun ambang toleransi masyarakat menjadi lebih baik dalam menerima perbedaan. Kompleksitas permasalahan pertahanan dan keamanan khususnya masalah keamanan menuntut pula perhatian terhadap bidang–bidang kehidupan lain di luar hankam, karena bidang-bidang tersebut dapat merupakan sumber-sumber instabilitas.

Dari segi kecenderungan, dapat dilihat beberapa gejala penting. Globalisasi terbukti sebagai tantangan yang sulit dihindari sehingga yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola agara globalisasi tidak menimbulkan, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi, dampak yang tidak dikehendaki. Dalam hubungan antar negara, globalisasi itu menampilkan dirinya dalam berbagai bentuk interdependensi dan relativisasi kedaulatan nasional. Sebagai fenomena yang ditandai dengan luluhnya perbatasan (boundary eroding), ketidakamanan bagi suatu negara dapat menjadi sumber ketidakamanan bagi negara lain. Kedaulatan negara menjadi semakin relative, meski mungkin terbatas pada efektifitas pemerintahan, bukan pada soal keutuhan wilayah. Suatu negara tidak lagi berdasarkan pada apa yang mereka anggap kepentingan nasional, tetapi juga harus mempertimbangkan kepentingan negara-negara lain.

Beberapa isu yang secara langsung berkaitan dengan interdependesi adalah ancaman transnasional. Semakin kuat kesadaran bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang multidimensional (fisik dan non fisik). Dapat bersumber pada berbagai dimensi non-militer permasalahan ideology, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional seperti terrorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan tantangan itu dapat menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional. Dimensi eksternal-internal menjadi tidak absolut. Universalisme nilai dan transnasional ancaman menyebabkan luluhnya batas-batas antar negara. Keamanan menjadi isu bukan hanya pemerintahan nasional tetapi juga global dan transgovernmental. Pada saat yang sama keharusan untuk reassert kedaulatan pemerintahan semakin mendesak, karena keharusan untuk early warning dan mencegah eskalasi agar ancaman non-fisik tidak berubah menjadi ancaman fisik. Alternatif untuk itu, membangun norma baru mengenai kedaulatan interdependen (interdependence sovereignty) tidak terlalu mudah.
Masalah lain adalah menguatnya upaya penerapan nilai-nilai yang dianggap universal, mulai dari sesuatu yang bertumpu pada nilai keagamaan sampai dengan hak asasi manusia, nilai demokratis, dan penadbiran (governance). Globalisasi nilai-nilai universal itu belum tentu dapat diterima oleh beberapa negara, khususnya bagi mereka yang karena alasannya masing-masing menggunakan argument relativisme cultural.

Nilai universal lain adalah fundamentalisme agama yang kini tampil sebagai kekuatan yang luar biasa. Sebagian dari usaha itu muncul dalam bentuk retrogresi; sebagian yang lain justru muncul dalam bentuk militansi. Di beberapa negara, fundamentalisme Islam dipandang sebagai alternatif terhadap rejim-rejim sekuler yang selama beberapa puluh tahun dianggap tidak mampu menyediakan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Di kalangan yang terpinggirkan (marginalized), fundamentalisme itu dapat muncul dalam bentuk radikalisme dan militansi segmen masyarakat tertentu. Lebih dari itu, faktor kunci dalam hal ini adalah pelaku bukan negara (non-state actors). Perkembangan lingkungan global pasca Perang dingin juga mensyaratkan dikedepankan cara pandang keamanan yang berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan dan menjamin keamanan manusia (human security). Selain itu, aktor non-pemrintah menjadi semakin penting. Pada tingkat global maupun societal, aktor-aktor non pemerintah memainkan peranan semakin penting. Persoalannya, negara nasional tidak sepenuhnya mampu atau tidak mengendalikan aktor-aktor seperti itu. Negara-negara barat tidak memiliki kapasitas hukum untuk melarang aktivitas pelaku-pelaku non-negara di negaranya.

Dari uraian tersebut diatas dengan memperhatikan perkembangan lingkungan strategis baik Global, Regional maupun Nasional, maka prediksi umum terhadap kemungkinan ancaman perang yang dapat terjadi adalah sebagai berikut : (1) Invasi Militer. Invasi secara fisik yang mengerahkan kekuatan militer besar bukan merupakan bentuk ancaman dominan yang akan mengganggu kedaulatan Indonesia. Hal ini mengingat bahwa perang dalam arti sesungguhnya bukan merupakan pilihan simpatik bagi negara besar dan maju. Namun demikian, pengerahan kekuatan militer negara lain dalam skala yang lebih kecil merupakan kemungkinan yang dapat terjadi. Pengerahan kekuatan militer dalam skala kecil dapat terjadi dalam kaitannya untuk menjaga kepentingan nasional negara maju atau mendukung penyelesaian masalah perbatasan secara fisik. Apabila hal ini terjadi, maka klasifikasinya adalah konflik bersenjata antar dua kekuatan militer. Disamping itu, pengerahan kekuatan militer yang dilakukan secara terselubung merupakan ancaman yang paling mungkin terjadi. Hal ini dilakukan negara lain guna mendukung gerakan separatisme yang sudah link-up dengan negara lain yang bersimpati. Poros datangnya ancaman diperkirakan berasal dari negara yang bersengketa dengan Indonesia di utara dan selatan melalui corong-corong pendekat yang ada. Ancaman dari luar negeri dalam bentuk invasi militer dengan penggunaan kekuatan persenjataan yang canggih dan modern yang dapat mengancam seluruh aspek kehidupan nasional, merupakan suatu kemungkinan yang tidak dapat diabaikan, khususnya sengketa perbatasan yang dapat berkembang menjadi perang terbatas. Di antara ribuan pulau yang tersebar, terdapat pulau-pulau terluar yang digunakan sebagai titik-titik batas terluar (base point) pengukuran batas wilayah NKRI dengan negara-negara tetangga. Dari 92 pulau-pulau kecil yang menjadi titik terluar batas wilayah, 12 pulau di antaranya memiliki kerawanan atau berpotensi untuk menjadi sumber sengketa dengan negara tetangga, yaitu : Pulau Rondo dengan India, Pulau Berhala dengan Malaysia, Pulau Nipah dengan Singapura, Pulau Sekatung dengan Vietnam, Pulau Marore, Miangas, Marampit dengan Filipina, Pulau Fanildo, Brass dan Fani dengan Palau, Pulau Batek dengan Timor Leste dan Pulau Dana dengan Australia. Posisi pulau-pulau yang sedemikian strategis mengandung potensi ancaman maupun konflik, sehingga dibutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi agar kasus Pulau Sipadan-Ligitan tidak terulang kembali di kemudian hari. Yang juga sedang kita tunggu–tunggu adalah bagaimana penyelesaian permasalahan Blok Ambalat yang sampai sekarang belum ada titik terangnya. (2) Ancaman Penyalahgunaan ALKI. Pengakuan internasional terhadap ALKI menuntut adanya jaminan keamanan dan keselamatan lalu lintas pelayaran di sepanjang ALKI. Apabila jaminan keamanan pelayaran dianggap belum memenuhi persyaratan, hal ini dapat mendorong kemungkinan hadirnya kekuatan Angkatan Laut asing di ALKI untuk mengamankan armada niaganya. Disamping itu, keberadaan ALKI dapat dimanfaatkan oleh negara lain untuk melakukan tindakan-tindakan provokatif yang melanggar hukum nasional Indonesia sehingga merugikan dan mengganggu kedaulatan NKRI. (3) Ancaman Terorisme. Banyaknya jalur lintas pelayaran dan keberadaan berbagai instalasi / obyek vital strategis baik di laut maupun di darat, memungkinkan digunakannya obvitnas tersebut sebagai wahana oleh jaringan terorisme dalam menjalankan aksinya. Aksi teror ini dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal dan ekstrim baik dari dalam maupun luar negeri untuk mencapai tujuan politiknya, maupun aksi teror yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang memiliki jaringan terorisme internasional. (4) Gerakan Separatisme. Gerakan separatisme merupakan ancaman faktual bagi keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI. Ancaman ini datang dan didominasi oleh faktor dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan. Kekuatan asing hadir secara terselubung dalam bentuk tindakan provokasi yang mengatasnamakan HAM dan demokrasi serta yang paling ekstrim adalah penyelundupan bantuan senjata. (5) Transnational Crimes. Kejahatan lintas negara yang meliputi perompakan di laut, penyelundupan obat-obatan terlarang, penyelundupan manusia dan penyelundupan senjata kerap memanfaatkan laut sebagai media untuk melaksanakan aktivitasnya. Jenis kejahatan tersebut merupakan ancaman serius bagi stabilitas perekonomian dan pertahanan keamanan negara. Dalam era globalisasi, tidak tertutup kemungkinan kegiatan tersebut dimanfaatkan oleh negara lain untuk mengganggu kepentingan nasional Indonesia. Perairan yang rawan dan perlu diwaspadai adalah seluruh perairan yang berbatasan langsung dengan Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan perairan yang berbatasan dengan Timor Leste.

Strategi pertahanan nasional diarahkan untuk mencapai tiga tujuan fundamental yaitu perlindungan teritorial, kedaulatan, dan keselamatan bangsa. Dalam konteks Indonesia, upaya untuk memenuhi kepentingan pertahanan nasional di atas harus memperhatikan, (1) faktor geostrategis negara baik ke dalam dan keluar. Ke dalam, yaitu untuk menciptakan sistem pertahanan nasional yang kredibel yang didasarkan atas konsep unified approach atau a single all-encompassing strategy yang meng-cover 17 ribu lebih pulau dengan luas 7.7 juta Km2 (termasuk wilayah zona ekonomi eksklusif) dengan panjang pantai sekitar 80 ribu kilometer. Upaya bela negara bagi negara kepulauan seperti Indonesia berarti juga mempertahankan kedaulatan maritim dan sumber daya yang berada di dalamnya, termasuk ZEE. Keluar, untuk menciptakan faktor penangkal yang kuat kepada pihak eksternal, paling tidak melalui pengembangan kemampuan surveillance dan reconaissance. (2) strategi pertahanan harus memperhatikan perubahan-perubahan dunia internasional, terutama perubahan sifat perang, sifat dan bentuk ancaman dalam dunia yang digerakkan oleh perkembangan pesat di bidang teknologi dan komunikasi. Perang modern tidak lagi didominasi perang teritorial yang dilakukan dengan konsep-konsep perlawanan bersenjata secara gerilya, melainkan merupakan perang yang menekankan penghancuran infrastruktur vital atau center of gravity. Perkembangan ini tidak bisa diatasi dengan mengandalkan cara pikir konvensional yang menekankan pada kemampuan kekuatan darat yang juga tidak sesuai dengan posisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Kalaupun pemikiran-pemikiran atas dasar land-based strategy ini masih dipertahankan, strategi ini tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan kekuatan udara dan laut. Terlebih, kemajuan teknologi informasi dan persenjataan, misalnya munculnya rudal-rudal balistik dan RMA, telah mengaburkan batas-batas teritorial, sifat perang menjadi lebih cepat, negara makin rawan terhadap serangan preemptif, dan menuntut pengembangan kekuatan mobile dan efektif. Perang teritorial dengan melakukan pendudukan atas wilayah musuh menjadi tidak populer dan mahal baik secara finansial dan moral. Sifat dan bentuk ancaman menjadi makin kompleks terutama dengan memperhatikan posisi geografis Indonesia. Indonesia akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak dapat dihindarkan misalnya migrasi ilegal, perdagangan obat bius dan obat-obat terlarang lain, pencucian uang, pencurian ikan, perdagangan gelap yang lain, serta teorisme internasional.

Perkembangan-perkembangan ini telah merubah pemikiran dan perencanaan strategis yang mengarah pada kebutuhan akan kekuatan yang terlatih dan dilengkapi dengan kemampuan untuk bergerak cepat dalam menjalankan tugas-tugas perang dan selain perang. Secara lebih khusus, argumen di atas adalah untuk menegaskan perlunya perubahan paradigma tentang perang dan perencanannya, pengorganisasian (organising), penyusunan (structuring), dan komando (commanding) kekuatan militer, terutama bagi negara-negara yang mempunyai wilayah kepulauan sangat luas dan menyebar.

Beberapa hal yang perlu di kaji mengenai tindakan preventif dan represif dalam kekuatan pertahanan Negara, antara lain : (1) Kesiapan patroli laut maupun patroli udara maritim disekitar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Akan diperlukan jumlah kapal patroli dalam jumlah yang memadai, baik yang operasional maupun kekuatan cadangannya, serta pesawat udara patroli maritim. Didukung dengan sarana Komando, Kendali, Komunikasi dan Intelijen yang modern. (2) Perkuatan kepada kekuatan TNI-AL. Terutama pada Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT). Baik berupa penambahan Alut Sista dari luar dan dalam negeri, kesiapan personel, dan dukungan perlatan pembantu lainnya. Termasuk didalamnya kekuatan pasukan Korps Marinir TNI-AL. (2) Kemampuan dukungan Industri Bahari. Sebagai sebuah Negara kepulauan yang sangat luas dewasa ini hanya memiliki satu industri strategis perkapalan yang memadai, yaitu PT. PAL Indonesia yang secara spesifik memproduksi kapal versi militer. (3) Yang tidak kalah pentingnya dalah kehadiran kemampuan intelijen strategis dalam pengawasan teritorial perairan dalam hal ini pesawat-pesawat pengintai maritim (Maritime Patrol Aircraft/MPA). (4) Manajemen pengadaan Alut Sista yang memadai serta sistem Logistik yang mampu menghasilkan prioritasisasi kebutuhan secara cermat dan efisien sesuai lima asas logistik dari tahap perencanaan sampai tahap penghapusan, berikut standarisasi Bekal Pokok (BP) Logistik yang seharusnya untuk mampu mendukung SSAT yang dioperasikan. Hal ini menjadi penting mengingat jumlah alokasi yang dapat diberikan oleh Negara untuk belanja pertahanan adalah sangat terbatas. (5) Koordinasi antar lembaga dalam pengamanan dan pemeliharaan kedaulatan perairan territorial NKRI, baik kerjasama antar angkatan maupun dengan instansi samping seperti patroli Kepolisian Perairan, Bea dan Cukai, Departemen Kelautan dan Perikanan, maupun patroli Angkatan Udara dalam hal Patroli Maritim. Sesungguhnya Pemerintah Indonesia telah memiliki suatu organisasi untuk keamanan di Laut yaitu Badan Koordsinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), namun saat ini masih belum terdengar gaung prestasinya. (6) Peningkatan kemampuan industri sistem persenjataan di dalam negeri untuk dapat mengurangi ketergantungan pasokan dari luar negeri.

Melihat kompleksitas lingkungan strategis, sifat dan bentuk ancaman, perubahan sifat perang, kemajuan teknologi, dan faktor geografis, strategi pertahanan Indonesia memerlukan perubahan doktrin yang mendasar. Dalam jangka panjang, strategi pertahanan kontinental sulit dipertahankan karena tidak mampu mencegah dan menangkal secara dini di wilayah maritim dan kontrol wilayah udara yang sekarang ini menjadi media beroperasinya ancaman-ancaman non-tradisional dan transnational.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar