Kamis, 18 Juni 2009

TANTANGAN PEMBANGUNAN ALUTSISTA TNI DIHADAPKAN PADA PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGI SAAT INI

Alutsista adalah alat utama sistem senjata yang dimiliki oleh TNI, baik dalam bentuk platform (misalnya kendaraan tempur, pesawat tempur, kapal perang) maupun dalam bentuk senjata (misalnya roket/rudal, senjata laras panjang/pendek, meriam). Kecelakaan fatal pesawat Hercules TNI AU di Magetan dan beberapa kali insiden sebelumnya, seperti abnormal landing di Pangkalan Udara Wamena harus menjadi pelajaran mahal yang terakhir. Bangsa Indonesia tidak perlu terjebak dalam polemik tentang anggaran militer untuk alutsista yang jauh dari mencukupi. Upaya peningkatan kemampuan pertahanan melalui kebijakan, strategi, dan perencanaan pertahanan yang mengarah kepada pembentukan minimum essential force mesti disesuaikan dengan kemajuan zaman serta rintangan ke depan yang menyangkut ancaman negara dan potensi bencana alam.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia serta dalam dinamika penyelenggaraan pembangunan nasional telah terbukti bahwa Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta menjadi sistem yang mampu melawan penjajah dan berhasil menjadikan Indonesia negara merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta harus tetap dipertahankan dan dikembangkan untuk menegakkan kedaulatan NKRI, menjaga keutuhan wilayah negara dan menjamin keselamatan bangsa. Untuk menjamin tegaknya NKRI fungsi pertahanan negara sangat berperan dan menjadi salah satu fungsi pemerintahan untuk menjaga kelangsungannya.

Dalam menyelenggarakan pembangunan nasional, pemerintah masih menempatkan aspek kesejahteraan sebagai prioritas. Dari alokasi APBN sampai dengan Tahun Anggaran 2007, Pertahanan Negara belum menjadi prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2008, sektor Pertahanan Negara masih berada pada urutan prioritas ke-empat dibawah fungsi Pelayanan Umum, Pendidikan, dan Ekonomi. Sasaran pokok yang ingin dicapai dalam upaya meningkatkan kemampuan pertahanan pada tahun 2008 diarahkan pada Postur Pertahanan, peningkatan jumlah dan kondisi kesiapan operasional pertahanan, modernisasi Alutsista, serta teknologi dan industri pertahanan dalam negeri. Hingga saat ini, selain jumlah maupun kandungan teknologi alat utama sistem senjata (Alutsista) yang masih memprihatinkan, bahkan di bawah standar penangkalan, juga kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraannya masih rendah. Di samping itu, kebutuhan pemenuhan, pemeliharaan, pengoperasian, maupun suku cadang Alutsista TNI masih bergantung pada negara-negara lain. Tantangan pembangunan nasional seperti digambarkan di atas berimplikasi terhadap pelaksanaan pembangunan sektor Pembangunan Pertahanan Negara yang hingga kini belum mampu mencapai kekuatan pertahanan minimal. Kondisi tersebut berdampak terhadap kemampuan dan profesionalisme TNI dalam melaksanakan fungsinya sebagai Komponen Utama sistem Pertahanan Negara.

Reformasi yang menghendaki perubahan secara total di segala bidang penyelenggaraan negara telah berhasil menuntaskan pemisahan TNI dan Polri dengan penataan perannya masing-masing. Pemisahan tersebut berdampak pada penanganan keamanan dalam negeri yang belum efektif. Reformasi di bidang Pertahanan dan Keamanan Negara, tidak hanya menyangkut pemisahan antara TNI dan Polri, tetapi juga mengenai penataan lebih lanjut hubungan kelembagaan antara keduanya dalam melaksanakan tugas sesuai tataran kewenangan masing-masing.

Tantangan yang dihadapi perubahan geopolitik internasional, yang ditandai dengan memudarnya prinsip multilateralisme dan menguatnya pendekatan unilateralisme, berdampak terhadap berkembangnya doktrin pertahanan pre-emptive strike, yang dapat menembus batas-batas yurisdiksi suatu negara di luar kewajaran hukum internasional. Selain itu, menguatnya kemampuan militer negara tetangga yang secara signifikan melebihi kemampuan pertahanan Republik Indonesia telah melemahkan posisi tawar dalam ajang diplomasi internasional. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama pembangunan kemampuan pertahanan negara yang harus dihadapi pada masa mendatang adalah membangun kekuatan pertahanan di atas kekuatan pertahanan minimal, sehingga memiliki efek detterence di kawasan regional maupun internasional.

Pembangunan kekuatan pertahanan dengan kemampuan detterrence tersebut seharusnya telah dapat dicapai sesuai penahapan dalam pembangunan nasional. Namun demikian tantangan pembangunan nasional untuk memulihkan kondisi ekonomi yang mengalami krisis hebat sejak tahun 1998 telah berdampak terhadap perlambatan pembangunan di bidang-bidang yang lain termasuk bidang pertahanan. Di samping itu konflik berintensitas rendah antara lain terorisme, separatisme, konflik komunal, kejahatan transnasional, serta terkurasnya kekayaan negara terutama hasil laut dan hasil hutan akibat tindakan ilegal, telah menghambat pencapaian pembangunan kekuatan pertahanan tersebut karena banyak menyita perhatian dan biaya.

Tantangan lain dalam pembangunan pertahanan negara adalah tuntutan kebutuhan untuk membangun TNI yang profesional sehingga menjadi kekuatan nasional yang mampu mengemban fungsinya di era globalisasi dengan hakikat ancaman yang semakin kompleks. Usaha pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI serta menjamin keselamatan bangsa dari setiap ancaman akan sangat berat dilakukan tanpa didukung oleh Alutsista yang modern. Oleh karena itu, tantangan dalam membangun TNI yang profesional pada hakikatnya adalah membangun kemampuan pertahanan negara dengan meningkatkan jumlah dan kondisi Alutsista TNI untuk mencapai kekuatan melampaui kekuatan pertahanan minimal sesuai dengan kemajuan teknologi.

Kondisi riil TNI saat ini harus diakui masih berada di bawah standar profesionalisme yang sewajarnya. Kekuatan TNI dari segi Alutsista masih diperhadapkan dengan kondisi keterbatasan dan kekurangan dari segi jumlah dan ketidaksiapan sebagai akibat dari Alutsista yang ada saat ini pada umumnya merupakan aset yang sudah ketinggalan teknologi, sementara proses regenerasinya berjalan sangat lambat. Paralel dengan kemajuan teknologi pertahanan tersebut, negara-negara lain melakukan modernisasi kekuatan pertahanannya di bidang Alutsista, sementara Indonesia relatif tertinggal dalam bidang ini. Ketertinggalan pembangunan pertahanan Indonesia saat ini pada dasarnya merupakan akumulasi dari kebijakan pembangunan nasional di masa lalu yang lebih mengutamakan aspek kesejahteraan dari pada aspek pertahanan. Akibat ketertinggalan pembangunan pertahanan tersebut tanpa disadari telah berdampak terhadap rendahnya posisi tawar Indonesia dalam lingkup internasional. Bahkan pada lingkup Asia Tenggara sekalipun, kekuatan pertahanan Indonesia sudah jauh tertinggal oleh negara-negara lain yang dahulu kemampuannya berada di bawah Indonesia.

Dalam rangka itu, membangun TNI yang profesional bukan saja kebutuhan TNI semata, tetapi juga menjadi kebutuhan seluruh bangsa Indonesia dalam mengangkat posisi tawar Indonesia dalam menghadapi ketatnya persaingan di era globalisasi. Pembangunan kekuatan pertahanan dalam beberapa tahun mendatang masih berorientasi pada penggantian Alutsista TNI yang umumnya sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Untuk meregenerasi Alutsista TNI yang sudah ketinggalan teknologi tersebut membutuhkan waktu paling sedikit 20 tahun.

Usaha pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI serta menjamin keselamatan bangsa dari setiap ancaman akan sangat berat dilakukan tanpa didukung oleh Alutsista yang modern. Oleh karena itu, tantangan dalam membangun kemampuan pertahanan negara adalah meningkatkan jumlah dan kondisi Alutsista TNI untuk mencapai kekuatan melampaui kekuatan pertahanan minimal sesuai dengan kemajuan teknologi. Di sisi lain, penyelenggaraan pertahanan Indonesia yang menganut Sistem Pertahanan Semesta hingga kini belum dapat diwujudkan. Dari tiga komponen pertahanan yang membentuk Sistem Pertahanan Semesta, baru komponen utama yang jelas keberadaannya yakni TNI. Dua komponen pertahanan yang lain yakni Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung belum dapat diwujudkan sebagai suatu kekuatan pertahanan yang nyata. Menyadari hal tersebut, sasaran pembangunan pertahanan dalam beberapa tahun mendatang adalah membentuk Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung sebagai langkah dalam merealisasikan hak dan kewajiban warga negara dalam pembelaan negara.

Sejalan dengan pembentukan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung, keberadaan industri pertahanan nasional yang menopang kemandirian Indonesia di bidang pertahanan merupakan kebutuhan strategis yang kontekstual. Pengembangan industri pertahanan nasional pada dasarnya tidak saja untuk kepentingan pertahanan secara eksklusif, tetapi juga salah satu menjadi instrumen pembangunan ekonomi nasional yang handal. Pengembangan industri pertahanan bukanlah suatu konsep yang baru yang dimulai dari titik nol (creatio ex nihilo). Indonesia telah memiliki sejumlah industri pertahanan yang memiliki kemampuan untuk memproduksi sejumlah alat peralatan dan kebutuhan pertahanan, namun belum menjadi industri pertahanan yang kuat yang memiliki daya saing dalam memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas. Kebutuhan akan industri pertahanan nasional semakin urgen mengingat kebutuhan untuk memodernisasikan Alutsista sangat rentan terhadap isu-isu politik yang berdampak terhadap pemberlakuan embargo oleh suatu negara produsen peralatan militer.

Pembangunan pertahanan mencakup sistem dan strategi pertahanan, postur dan struktur pertahanan, profesionalisme TNI, serta pengembangan teknologi pertahanan dalam mendukung ketersediaan Alutsista, Komponen Cadangan, dan Komponen Pendukung. Pembangunan tersebut diarahkan untuk mewujudkan kemampuan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal (minimum essential force). Ukuran kemampuan yang menjadi arah pembangunan jangka panjang adalah kemampuan pertahanan yang dapat menjamin kedaulatan negara, keselamatan bangsa serta keutuhan wilayah NKRI yang meliputi wilayah darat yang tersebar dan beragam termasuk pulau-pulau kecil terdepan, wilayah yurisdiksi laut hingga meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen serta ruang udara nasional. Dalam masa damai arah pembangunan pertahanan adalah mewujudkan kemampuan pertahanan yang memiliki efek penggentar (deterrence) yang disegani di tingkat regional serta mendukung posisi tawar Indonesia dalam ajang diplomasi.

Dalam kerangka yang utuh, sistem dan strategi pertahanan negara secara terus menerus disempurnakan untuk mewujudkan Sistem Pertahanan yang bersifat Semesta untuk mencapai kemampuan mengatasi ancaman dan memiliki efek penggentar. Dalam sistem tersebut, pertahanan nasional akan dirancang agar mempunyai kemampuan menangkal ancaman sejak di bagian terluar wilayah Indonesia dan kemampuan untuk mempertahankan teritori Indonesia baik laut dan udara dan daratan, serta kemampuan untuk mengawasi dan melindungi segenap sumber daya yang berada di wilayah Indonesia. Postur dan struktur pertahanan negara diarahkan untuk dapat menjawab berbagai kemungkinan ancaman, tantangan dan permasalahan aktual di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan kemampuan jangka panjang disesuaikan dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat serta perkembangan teknologi.

Postur dan struktur pertahanan matra darat diarahkan untuk memberi efek detterrence yang tinggi di bidang kekuatan pertahanan darat, serta mampu mengatasi setiap ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dengan kondisi medan dan topografis Indonesia yang beragam. Dalam menghadapi dan mengatasi ancaman nyata, kekuatan matra darat mampu melakukan pergerakan cepat antarwilayah dan antarpulau dalam kerangka operasi Tri Matra Terpadu, serta mampu melaksanakan perang berlarut tanpa mengenal menyerah sebelum kemenangan diraih. Postur dan struktur matra laut diarahkan untuk memberi efek detterrence yang tinggi di bidang kekuatan pertahanan laut dengan kemampuan yang melingkupi dan mengatasi luasnya wilayah laut Nusantara baik di permukaan dan di bawah permukaan. Dalam menghadapi ancaman nyata, postur dan struktur matra laut mampu menghadapi dan mengatasi ancaman nyata serta memberi dukungan dan kompatibilitas terhadap pergerakan matra darat dan udara dalam kerangka Operasi Tri Matra Terpadu.

Postur dan struktur matra udara diarahkan untuk memberi efek detterrence yang tinggi di bidang kekuatan pertahanan udara dengan kemampuan manuver dan jelajah yang tinggi. Dalam menghadapi ancaman nyata, postur dan struktur matra udara mampu mengawasi ruang udara nasional dan keseluruhan teritori Indonesia, mampu melampaui kebutuhan minimal penjagaan ruang udara nasional, memulai pemanfaatan ruang angkasa, mampu melaksanakan operasi dan memberikan dukungan dalam kerangka Tri Matra Terpadu. Postur dan struktur yang dikembangkan ke depan bercirikan peningkatan profesionalisme TNI. Profesionalisme TNI diwujudkan dalam komitmen untuk melepaskan diri dari kegiatan politik praktis, keterlibatan dalam kegiatan bisnis serta memusatkan diri pada tugas-tugas pertahanan dalam bentuk Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam konteks ini fokus pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan Alutsista menjadi agenda mendesak.

Sebagai Komponen Utama pertahanan negara, sumber daya manusia TNI disiapkan dengan memenuhi kecukupan jumlah personel setiap matra yang diwujudkan dalam kondisi terdidik dan terlatih dengan baik. Indikator TNI yang terdidik dan terlatih dengan baik adalah memiliki penguasaan lapangan yang tinggi, memiliki penguasaan operasional dan perawatan peralatan perang modern, penguasaan terhadap doktrin dan didukung organisasi TNI yang solid namun fleksibel dalam menghadapi perubahan. Di bidang manajemen, mewujudkan sistem dan metode yang efektif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi secara maksimal, serta penggunaan sumber daya sesuai peruntukannya. Dalam bidang kepemimpinan, mampu melahirkan sosok pimpinan yang cakap, berwibawa, dan kompeten.

Peningkatan profesionalisme TNI tersebut tidak dipisahkan dari imbangan peningkatan kesejahteraan melalui kecukupan gaji, penyediaan fasilitas rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan, dan penyiapan skema asuransi masa tugas. Perbaikan kesejahteraan prajurit TNI menjadi kewajiban pemerintah agar tidak menghalangi upaya untuk mewujudkan TNI yang profesional. Peningkatan kondisi dan jumlah Alutsista setiap matra dilaksanakan menurut validasi Postur dan Struktur Pertahanan Negara untuk dapat melampaui kebutuhan kekuatan pertahanan minimal. Pemenuhan kebutuhan Alutsista dipenuhi secara bertahap yang diproyeksikan dapat dicapai dalam 20 tahun sejalan dengan kemampuan keuangan negara atas dasar perkembangan teknologi, prinsip kemandirian, kemudahan interoperabilitas dan perawatan, serta aliansi strategis.

Pengembangan Alutsista diarahkan dengan strategi akuisisi alat teknologi tinggi dengan efek deterrence dan pemenuhan kebutuhan dasar operasional secara efektif dan efisien dengan mendayagunakan dan mengembangkan potensi dalam negeri, termasuk industri pertahanan nasional dalam prinsip keberlanjutan. Pembentukan dan pemantapan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung Pertahanan Negara diarahkan untuk terwujudnya pertahanan nirmiliter yang berkesadaran bela negara yang tinggi dan diselenggarakan dalam kerangka perwujudan sistem pertahanan semesta. Pembentukan Komponen Cadangan lebih berorientasi pada aspek kewilayahan di mana tiap daerah memiliki kekuatan cadangan yang nyata dan dikembangkan secara bertahap dan berlanjut sampai mencapai kekuatan yang proporsional. Perwujudan Komponen Pendukung dilaksanakan sejalan dengan pembentukan Komponen Cadangan dan diarahkan untuk terselenggaranya dukungan pertahanan melalui penguasaan kemampuan pemanfaatan kondisi sumber daya alam dan buatan, sinkronisasi pembangunan sarana dan prasarana nasional terhadap kepentingan pertahanan, partisipasi masyarakat madani dalam penyusunan kebijakan pertahanan negara, serta mantapnya kesadaran masyarakat dalam hal bela negara. Aspek yang bernilai vital dalam bidang pertahanan adalah membangun kondisi mutualisme industri nasional bagi berkembangnya industri strategis pertahanan negara yang secara nyata mengakselerasi perwujudan kemandirian sarana pertahanan Indonesia.

Perlindungan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, wilayah laut dan udara Indonesia ditingkatkan dalam upaya melindungi sumber daya laut sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam konteks tersebut upaya perlindungan dimaksud dilakukan dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan pertahanan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum internasional serta meningkatkan kemampuan penangkalan, deteksi dan pencegahan dini. Kekurangan dalam bidang keterampilan terjadi karena ketersediaan Alutsista terbaru baik di lembaga pendidikan maupun di satuan-satuan TNI masih sangat minim, bahkan banyak Alutsista yang sudah ketinggalan teknologi tetapi belum ada penggantinya.

Upaya dalam mewujudkan TNI yang profesional juga sering terkendala oleh kesejahteraan prajurit TNI yang masih berada jauh di bawah standar kelayakan untuk seorang prajurit. Profesionalisme prajurit tidak dapat dipisahkan dari aspek kesejahteraan yang layak. Prajurit yang tidak dicukupi kesejahteraannya tidak mungkin akan menjadi profesional. Penghasilan prajurit yang dialokasikan oleh negara melalui gaji dan tunjangan sampai saat ini masih sangat rendah. Selain gaji yang tidak mencukupi, perumahan masih sangat terbatas, serta layanan kesehatan yang belum memadai. Peningkatan kesejahteraan prajurit sangat mempengaruhi keberhasilan tugas TNI. Kita bersyukur bahwa dengan kesejahteraan yang terbatas, prajurit TNI masih tetap terjaga kedisiplinan dan kepatuhannya, namun kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan terus berlangsung tanpa ada langkah mendasar yang dilakukan pemerintah.

Peran Stakeholder Pertahanan Dalam Reformasi Pertahanan. Reformasi pertahanan bukan suatu konsepsi yang eksklusif yang bergantung hanya pada lingkup institusional pertahanan semata. Keberhasilan reformasi pertahanan sangat ditentukan oleh stakeholder pertahanan yakni komponen bangsa di luar bidang pertahanan. Stakeholder pertahanan mencakup sejumlah pihak baik di lingkungan pertahanan maupun di luar pertahanan baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun masyarakat. Suksesnya reformasi pertahanan sangat tergantung pada perkuatan lembaga baik institusi sipil maupun partai politik. Reformasi militer yang efektif membutuhkan kapasitas institusional yang lebih kuat dari partai politik dan institusi sipil yang memahami pentingnya membangun kekuatan pertahanan yang transparan, dapat dipertanggung jawabkan, dan profesional. Perlu usaha yang terpadu untuk membangun institusi politik sipil yang kuat sehingga secara efektif menyelenggarakan pemerintahan dan membangun kekuatan politik di berbagai tingkatan tata pemerintahan.

Hubungan Indonesia-Rusia berlangsung dalam kerangka kepentingan nasional kedua negara. Rusia sebagai salah satu negara yang teknologi militernya cukup terkemuka di dunia memiliki posisi penting dalam pembangunan kemampuan pertahanan Indonesia. Kerja sama pertahanan dengan Rusia dilaksanakan dalam bidang pengadaan Alutsista. Teknologi militer Rusia merupakan salah satu alternatif karena prajurit TNI sejak lama telah mengenalnya produk-produk militer buatan Rusia, sehingga dengan mudahnya beradaptasi dengan produk-produk tersebut sasaran peningkatan profesionalitas dapat dengan mudah dikembangkan. Sejak tahun 1996 kerjasama kegiatan di bidang pertahanan antara Indonesia dan Rusia diselenggarakan dalam bidang Alutsista, logistik dan bantuan teknik. Dalam mewujudkan kemandirian sarana pertahanan Rusia menjadi salah satu negara yang telah bersedia untuk membantu Indonesia dalam hal alih teknologi. MoU dan agreement yang sudah ditandatangi di Moscow pada 1 Desember 2006 yang mencakup asistensi dalam penerapan kerja sama Indonesia-Rusia di bidang teknologi militer dan perlindungan hak dalam bidang kerja sama teknologi militer dapat menjadi wadah untuk mengembangkan kerja sama yang lebih operasional di waktu mendatang.

Industri pertahanan merupakan salah satu komponen vital dari kemampuan pertahanan. Industri pertahanan yang kuat mempunyai dua efek utama, yakni efek langsung terhadap pembangunan kemampuan pertahanan, dan efek terhadap pembangunan ekonomi dan teknologi nasional. Dalam bidang pembangunan kemampuan pertahanan, Industri pertahanan yang kuat menjamin pasokan kebutuhan Alutsista dan sarana pertahanan secara berkelanjutan. Ketersediaan pasokan Alutsista secara berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak bagi keleluasaan dan kepastian untuk menyusun rencana pembangunan kemampuan pertahanan dalam jangka panjang, tanpa adanya kekhawatiran akan faktor-faktor politik dan ekonomi seperti embargo atau restriksi. Industri pertahanan dapat memberi efek pertumbuhan ekonomi dan industri nasional, yakni ikut menggairahkan pertumbuhan industri nasional yang berskala internasional, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup signifikan, transfer teknologi yang dapat menggairahkan sektor penelitian dan pengembangan (research and development) sekaligus memenuhi kebutuhan sektor pendidikan nasional di bidang sains dan teknologi.

Indonesia selama ini memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap luar negeri di bidang teknologi pertahanan, sehingga sangat sulit untuk dapat menyusun rencana pembangunan pertahanan jangka panjang yang memiliki kepastian, karena sangat rentan terhadap faktor-faktor politik seperti restriksi dan embargo. Permasalahan lain yang muncul dari ketidakmandirian pengadaan sarana pertahanan adalah melemahnya kemampuan dan kesiapan penangkal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Di samping itu, kondisi demikian secara politik akan mengakibatkan Indonesia rentan terhadap tekanan politik yang dapat berakibat pada kemungkinan terkena embargo atau pembatasan-pembatasan terhadap peralatan tertentu yang menghambat pembangunan dan pemeliharaan sarana pertahanan.

Kemandirian pengembangan dan pengadaan sarana pertahanan secara mutlak 100 persen disadari tidak mungkin dilaksanakan. Bahkan tidak ada negara di dunia yang secara mutlak bersandar pada kemampuannya sendiri, selalu ada ketergantungan dari negara lain. Namun demikian adanya industri pertahanan yang mandiri tetap diakui manfaatnya dalam penyelenggaraan pertahanan yang efektif. Pemberdayaan industri strategis untuk kepentingan pertahanan nasional tidak berarti Indonesia ambil bagian dalam kegiatan perlombaan persenjataan, namun untuk mencapai kemandirian dalam pengadaan sarana pertahanan nasional untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara dalam rangka menjaga keutuhan wilayah dan integritas Indonesia.

Pembangunan industri pertahanan nasional merupakan hal yang vital dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana pertahanan yang mampu dioperasionalkan secara maksimal dalam penyelenggaraan pertahanan. Kebutuhan sarana pertahanan yang tergantung dari produksi luar negeri akan menimbulkan permasalahan dan mempengaruhi kemampuan dan kesiapan TNI dalam menjalankan tugas-tugas operasi di masa mendatang. Menyikapi keadaan ini, maka sangat diperlukan pemberdayaan industri nasional untuk pengembangan dan penyedia sarana pertahanan nasional. Namun demikian perwujudan suatu industri pertahanan yang sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan oleh sektor pertahanan secara sepihak tanpa keterlibatan sektor-sektor yang lain. Pemberdayaan industri nasional untuk pembangunan pertahanan memerlukan kerja sama di antara tiga pilar industri pertahanan yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perguruan Tinggi, Industri dan pihak Dephan/TNI, dengan dibentengi oleh kebijakan nasional yang jelas untuk menggunakan produk-produk hasil dari putra-putri terbaik bangsa.

Keputusan Presiden Nomor 59 tahun 1983, merupakan langkah awal pembangunan industri strategis termasuk industri pertahanan. Keppres tersebut membidani lahirnya PT IPTN (yang saat ini menjadi PT DI) yang kemudian membidangi industri pertahanan bidang kedirgantaraan, PT PAL yang membidangi industri kemaritiman, PT PINDAD yang membidangi persenjataan dan amunisi, PT DAHANA yang membidangi bahan peledak, dan PT LEN yang membidangi alat-alat elektronika dan komunikasi pertahanan. Sejauh ini industri strategis tersebut telah menghasilkan berbagai produk Alutsista bagi pembangunan kemampuan pertahanan. PT Pindad telah memproduksi senjata ringan, senjata berat, amunisi kaliber kecil, amunisi kaliber besar, amunisi khusus bahkan mampu memproduksi kendaraan tempur. PT PAL telah mampu memproduksi kapal-kapal jenis korvet, kapal patroli, landing platform dockship, tanker, serta dok pemeliharaan kapal perang. PT DI telah memproduksi pesawat transpor sayap tetap, helikopter, pesawat patroli maritim, pesawat pengintai, simulator pesawat, serta pemeliharaan dan perbaikan pesawat. PT LEN telah memproduksi sistem kendali peralatan militer, sistem deteksi, radar dan sonar serta peralatan komunikasi militer. Demikian pula PT Dahana telah memproduksi berbagai jenis bahan peledak.

Kiprah industri-industri strategis dimaksud mengalami pasang surut sehingga perlu pembenahan secara komprehensif menyangkut kebijakan, kemampuan sumber daya manusia serta dukungan anggaran yang memadai. Sebagai contoh, PT Texmaco, salah satu industri nasional yang memiliki kemampuan di bidang otomotif yang didukung oleh tenaga-tenaga terampil berkualitas internasional, telah mampu memproduksi kendaraan taktis untuk pertahanan, namun akhirnya hancur berantakan akibat salah-urus (mismanagement). Maka dari itu, pembenahan di berbagai bidang diharapkan akan meningkatkan kemampuan daya saing kualitas produk yang dihasilkan serta mendorong pemenuhan kebutuhan sarana pertahanan dalam negeri sehingga menciptakan kemandirian dalam pengembangan industri pertahanan.

Salah satu ciri kemandirian industri pertahanan adalah adanya framework hubungan kerja sama industri yang kokoh dan kuat serta didukung jaringan kemitraan yang luas. Sistem pengelompokan industri yang saling berkaitan secara intensif dan seirama baik sebagai industri vertikal maupun horizontal sangat diperlukan untuk menumbuhkan dan tetap menjaga kemampuan berkompetisi dengan industri lainnya.

Upaya pengembangan industri pertahanan merupakan bagian dari penyelenggaraan pertahanan secara utuh, serta juga bagian dari pembangunan nasional secara menyeluruh. Konsep pengembangan industri pertahanan melibatkan seluruh unsur sebagai stakeholder yaitu pengguna, pihak yang memproduksi, perancang, penguji, peneliti yang kompeten serta perencana yang tepat dalam kerangka konsep Tiga Pilar Pelaku Industri Pertahanan. Konsep Tiga Pilar Pelaku Industri Pertahanan memadukan pengembangan industri pertahanan yakni antara Perguruan Tinggi dan Komunitas Litbang yang memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian dan pengembangan Iptek pertahanan, Industri Strategis yang mendayagunakan Iptek, dan Dephan/TNI sebagai pengguna. Pengguna tidak hanya menerima dan menggunakan hasil produksi dari industri strategis tetapi terlibat juga dalam pengembangan desain sampai menghasilkan prototipe sesuai kebutuhan. Keterlibatan pengguna dalam hal ini diemban oleh badan-badan Litbang yang ada untuk terus meneliti dan mengembangkan Alutsista dan Sarana-Prasarana yang tepat untuk kebutuhan pertahanan Indonesia. Peran litbang sebagai jembatan antara pengguna dan industri sangat penting dalam mewujudkan kemandirian industri bidang pertahanan.

Departemen Pertahanan bertekad untuk mengembangkan industri pertahanan di bidang daya gerak, daya tempur, Pendukung K4I (Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Informasi), dan Bekal termasuk pula penahapannya. Hal ini tertuang dalam kebijakan pembangunan industri pertahanan sebagai dasar hukum bagi perwujudan kemandirian pertahanan. Pengembangan industri pertahanan ini tidak berarti upaya pengembangan kekuatan persenjataan dalam rangka perlombaan persenjataan tetapi untuk lebih memberdayakan dan menggiatkan industri pertahanan dalam pengadaan senjata secara mandiri.

Sesuai UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Litbang dan Penerapan Iptek Inovasi artinya : "Kegiatan Litbang dan atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan baru atau cara baru untuk menerapkan Iptek yang telah ada kedalam produk atau proses produksi”. Salah satu prestasi puncak dari inovasi adalah "Invensi", yaitu suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebefumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk menyem-purnakan atau memperbaharui Iptek yang telah ada. Esensi dari inovasi adalah kreativitas atau upaya kreatif yang terus menerus untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau pembaharuan dari sesuatu yang sudah ada yang memiliki nilai guna dan manfaat yang lebih besar atau lebih menguntungkan. Dalam hal upaya mewujudkan kemandirian sarana pertahanan, maka tak diragukan lagi inovasi berperan sangat penting. Dalam situasi kondisi kemampuan ekonomi, industri dan Iptek pertahanan yang masih rendah, upaya inovatif harus dijalankan secara bersama-sama terpadu dan sinergis oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholder), beserta pihak lainnya yang terkait.

Sebagai penjabaran dari upaya pengembangan dimaksud telah dijajaki beberapa kerja sama dengan berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri. Dengan luar negeri, misalnya dengan Jerman sedangkan beberapa negara lain juga sudah menyampaikan keinginannya untuk membantu Indonesia. Kerja sama pertahanan dengan kementrian Pertahanan Jerman akan dilaksanakan dalam bidang riset dan pengembangan teknologi pengayaan sumber-sumber energi, bahan baja dan aktivitas semikonduktor guna pengembangan kemampuan bahan peledak dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pembahasan kerja sama ini diikuti juga oleh industri pertahanan dan beberapa universitas yang lebih banyak diisi oleh diskusi kerja sama di bidang riset dan teknologi serta kunjungan ke laboratorium dan fasilitas industri pertahanan, kemungkinan pemberian beasiswa pendidikan yang diprioritaskan pada pengembangan sumber energi seperti bahan peledak yang risetnya sudah dilaksanakan pada 2008. Untuk pengembangan sumber daya manusia akan juga diadakan program magang. Mereka akan dikirim ke beberapa fasilitas Pemerintah Jerman dalam bidang pengayaan energi dan litbang semi konduktor.

Kerja sama dengan pihak-pihak di dalam negeri juga terus dikembangkan. Kerja sama dengan pihak dalam negeri selain untuk kepentingan pertahanan, juga sebagai bentuk kontribusi pertahanan dalam menggairahkan kemampuan dalam negeri yakni dari segi pengembangan sains dan teknologi dalam negeri, perekonomian, perdagangan dan ketenagakerjaan. Dalam rangka pengembangan industri pertahanan, Departemen Pertahanan akan menyusun kebijakan pembinaan teknologi dan industri pertahanan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan negara. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, Departemen Pertahanan akan melibatkan pihak-pihak di dalam negeri meliputi perguruan tinggi, sektor swasta, maupun dengan Badan Usaha Milik Negara, BPPT, TNI atau lembaga lain yang memiliki kemampuan dalam bidang sains dan teknologi.

Strategi inovasi dan pengembangan teknologi pertahanan harus dibangun diatas kebutuhan pengguna/TNl yang berorientasi pada kemungkinan ancaman, dari dalam dan luar negeri. Untuk ancaman dari luar, pengembangan bagaimana menetralisir atau menangkis penggunaan senjata canggih seperti Rudal pintar (Smart gun) yang memiliki akurasi tinggi dan mematikan. Sarana/alat perlindungan seperti apa yang harus kita buat untuk mencegah dan mengatasi serangan Rudal/Smartgun seperti itu. Dalam hal ini inovasi dan pengembangpaduan Iptek elektronika dan komputer sangat penting untuk diintensifkan. Untuk Alutsista laut (kapal) dan udara (pesawat tempur) pengembangan diarahkan pada peningkatan kemampuan jelajah, manover dan kecepatan serta kemampuan senjata yang melekat (mounted) pada kapal dan pesawat tempur tersebut.

Untuk menghadapi ancaman dalam negeri. Ancaman dalam negeri lebih banyak berupa ancaman non militer seperti sabotase, spionase, sparatisme, radikalisme, illegal logging dan terorisme. Khusus untuk diperairan/laut: perompakan/ pembajakan, illegal fishing, illegal crossing/migrant, penyelundupan dan terorisme maritim. Inovasi dan pengembangan Iptek untuk pertahanan terhadap ancaman dalam negeri ini prioritas diarahkan pada terorisme, illegal fishing, illegal logging dan perompakan, karena empat ancaman tersebut benar-benar aktual dan sangat merugikan. Inovasi pengembangan Iptek paling ampuh untuk mengatasi ancaman tersebut adalah pengembangan alat/sarana deteksi dan identifikasi fenomena dari jarak jauh (remote sensing) melalui pesawat terbang tanpa awak (PTTA) dan satelit.

Pembangunan alutsista memuat kebijakan Pertahanan Republik Indonesia menjadi dasar serta arahan pengembangan dan pengelolaan pertahanan negara. Dalam pembangunan alutsista juga merupakan pernyataan kebijakan pertahanan kepada publik tentang arah dan konsep kebijakan pertahanan negara Indonesia. Dalam lingkup nasional Kebijakan Pertahanan ini menjadi masukan dari aspek pertahanan bagi penyusunan kebijakan sektor nonpertahanan. Dalam lingkup internasional, Kebijakan Pertahanan ini merupakan salah satu sarana peningkatan Confidence Building Measures baik di kawasan regional maupun global.

1 komentar:

  1. Artikel lama yg senada dgn kebijakan presiden SBY yg sdg memodernisasi alutsista dan industri pertahanan Indonesia.

    BalasHapus