Kamis, 18 Juni 2009

PERLUNYA MEMBANGUN KEMBALI NILAI-NILAI PANCASILA PADA SENDI-SENDI KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA

Indonesia sebagai negara yang merdeka berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar serta filosofi Bangsa, sesungguhnya menjamin perlindungan bagi setiap warga negara didalam segala aspek kehidupannya. Inilah yang melandasi kehendak mulia dari para pendiri Republik ini untuk membentuk Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila adalah dasar negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur/menyelenggarakan pemerintahan negara. Oleh karena itu tidak setiap orang boleh memberikan pengertian atau tafsiran menurut pendapatnya sendiri, karena pancasila adalah suatu faham filsafat. Mengingat bahwa pancasila adalah dasar negara, maka mengamalkan pancasila dan mengamankan pancasila mempunyai sifat imperaktif/memaksa artinya setiap warga negara indonesia harus tunduk dan patuh kepadanya. Siapa saja yang melanggar pancasila sebagai dasar negara harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku dinegara Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merdeka sejak 17 Agustus 1945 saat ini sedang berada dalam masa transisi disetiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak era reformasi sampai dengan sekarang perubahan terjadi dengan cepat dan menghasilkan dampak negatif maupun positif sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan negara. Dinamika perubahan tersebut membawa pergeseran nilai-nilai pranata kehidupan sosial ditengah masyarakat baik secara individu maupun kelembagaan sehingga melemahkan persatuan bangsa. Ekses dari perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya melahirkan krisis tapi juga mengakibatkan masyarakat kehilangan orientasi keluhuran budi dan kemantapan moral etika. Dari pengalaman sejarah, Pancasila beberapa kali menjadi penyelamat dan perekat bangsa. Namun saat ini Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai falsafah dan pedoman hidup bangsa, peranannya sebagai dasar negara menjadi kabur, disisi lain peranan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum juga menjadi bias, sehingga mengakibatkan terjadinya krisis identitas diri bangsa Indonesia. Akibat dari perubahan-perubahan yang berlangsung sangat cepat yang membuat masyarakat kehilangan orientasi serta memunculkan ekses tumbuh suburnya etnosentralisme, premordialisme sempit, bentrok fisik, aksi-aksi teror sampai dengan timbulnya gerakan separatisme. Hal tersebut apabila dibiarkan dapat menimbulkan perpecahan bangsa.

Reformasi sejak tahun 1998 bangsa kita mengalami cobaan dan ujian bertubi – tubi, krisis moneter dan ancaman disintegrasi bangsa sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Hal ini dikarenakan para penyelenggara negara dan tokoh – tokoh politik lebih mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan nasional, korupsi masih terjadi di beberapa instansi pemerintah, biaya pendidikan yang terlalu tinggi kehususnya di Perguruan Tinggi yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, biaya hidup untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari dirasakan semakin berat, masyarakat kecil merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini menimbulkan rasa frustasi dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah, muncul aneka ragam bentuk protes baik melalui demonstrasi yang ringan sampai dengan yang anarkhis. Perilaku kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara tersebut menggambarkan adanya kecenderungan melunturnya sendi – sendi kehidupan yang berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945 sebagai lansadan idiil dan landasan konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ditandai beberapa kejadian antara lain sebagai berikut : penyelesaian konflik vertikal yang terjadi di Papua, masih menimbulkan kekhawatiran di sebagian kelangan masyarakat yaitu terlepasnya dari pangkuan ibu pertiwi, demikian pula halnya dengan konflik horisontal yang terjadi di Ambon serta beberapa daerah lainnya belum dapat diselesaikan dengan tuntas; tindakan sadis dan anarkhis mewarnai berita – berita media massa baik elektronik maupun cetak, begitu juga kelompok masyarakat bertindak anarkhis dalam menyampaikan pendapat, sarana umum hancur, lalu lintas macet, kendaraan dinas maupun pribadi dibakar; konflik yang diakibatkan oleh sentimen bernuansa SARA masih sering terjadi di beberapa wilayah NKRI, diawali kecemburuan sosial yang telah meracuni landasan persatuan dan kerukunan hidup beragama, bertentangan dengan apa yang telah ditanamkan oleh pendahulu kita.

Pancasila yang memelihara nilai-nilai fundamental mampu mempersatukan berbagai perbedaan Bangsa Indonesia dan selanjutnya mampu mengantarkan Bangsa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya. Sejak memasuki era reformasi, Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila dihentikan karena dianggap telah melebihi dari agama. Saat ini, kita dapat menyaksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan dianggap aneh bilamana berbicara mengedapankan masalah nilai-nilai Pancasila. Padahal kita semua paham Pancasila kekuatan terakhir bangsa untuk mempertahankan diri dari perpecahan atau disintegrasi bangsa karena di dalamnya selain terdapat lima sila juga ada sesanti : Bhineka Tunggal Ika. Sudah menjadi kewajiban bagi para generasi muda sebagai penerus bangsa untuk memahami dirinya sebelum memahami pihak lain. Sebagai bangsa yang besar, kita telah pengalaman dijajah selama + 360 tahun sehingga merasakan pahit getirnya diperlakukan oleh bangsa lain secara tidak adil.

Jati diri, eksistensi, dan idealisme merupakan faktor-faktor penting yang mesti diperhatikan dalam dinamika masyarakat. Eksistensi suatu masyarakat akan semakin kokoh manakala idealisme dijadikan motor penggerak untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan jati diri secara intensif, tanpa idealisme suatu masyarakat akan kehilangan élan vital. Meskipun begitu, idealisme sering dikorbankan ketika dinamika masyarakat – karena berbagai pengaruh lebih berorientasi kepada aspek-aspek pragmatis.

Dinamika masyarakat boleh jadi mengarah kepada suatu kondisi chaos, dan menghasilkan masyarakat tanpa identitas sehingga rapuh eksistensinya. Dibutuhkan suatu filsafat hidup yang dapat mengatasi dinamika peradaban, sehingga idealisme tetap menjadi motor penggerak dinamika masyarakat kearah kondisi cosmis, dan menghasilkan suatu masyarakat dengan jati diri yang jelas sehingga kokoh eksistensinya.

Kondisi paradoks pada berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat derasnya globalisasi, telah menjadikan kurangnya wacana tentang Pancasila baik pada arah politik, budaya dan akademis. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya kekacauan epistemologis dalam pemahaman tentang Pancasila. Tawaran yang diajukan untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah system nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh.

Bentuk upaya yang harus dilakukan oleh Bangsa Indonesia pada umumnya adalah berusaha memahami landasan hidup bangsa, memahami sejarah bangsanya serta memahami potensi-potensi yang dimiliki bangsanya. Banyak pengalaman dari negara-negara lain yang melupakan dan meninggalkan sejarah, terutama landasan nasionalnya di dalam memasuki gejolak di dalam negeri atau era perubahan (era reformasi) harus menghadapi resiko yang terlalu berat seperti pemberontakan, sehingga jatuh korban sampai bubarnya bangsa dan negaranya. Pancasila sebagai filsafat hidup memiliki karakter yang sederhana, terbuka untuk diinterpretasi, antisipatif, aktual dan kontekstual. Karakter-karakter tersebut terakumulasi dalam ciri Pancasila yang eklektif-inkorporatif, dan menjadikan Pancasila bersifat dinamis. Interpretasi dinamis adalah keniscayaan bagi suatu filsafat hidup yang mengatasi peradaban, demikian juga dengan Pancasila. Interpretasi dinamis atas Pancasila bukan merupakan penyimpangan apabila interpretasi itu dilakukan dengan senantiasa mempertahankan nilai fundamentalnya. Untuk mengajak dan meyakinkan masyarakat untuk kembali menempatkan Pancasila secara tepat dan terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus menjadi sumber serta landasan dan orientasi pemecahan masalah bangsa.

Implementasi Pancasila dapat menjadi media dan sarana interaksi yang efektif, utamanya pengkayaan pandangan, pendapat dan pemikiran guna memantapkan hasil pertemuan para pakar Pancasila, dalam merumuskan konsep sosialisasi dan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep sosialisasi dan implementasi Pancasila yang antara lain menyangkut materi, sasaran dan metodologi tersebut menjadi sangat penting, mengingat realisasi dinamika kehidupan yang ada saat ini yang diwarnai oleh berkembangnya nilai-nilai demokrasi dalam proses demokratisasi yang terus berlanjut.

Kontekstualisasi Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan merupakan konsekuensi logis dari predikat Pancasila sebagai filsafat hidup. Yang kemudian diperlukan adalah keberanian menderivasikan interpretasi konseptual filsafati tersebut dengan berbagai interpretasi kontekstual implementatif dalam berbagai bidang kehidupan. untuk mengkontektualisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dibutuhkan suatu “mediasi”, dan melaluinya Pancasila dapat menjadi “habitus” bangsa Indonesia. Pancasila diharapkan menjadi perantara antara budaya objektif dan budaya subjektif. Dalam konteks Indonesia masa kini dan masa depan, pengembangan institusionalisasi nilai-nilai Pancasila meski mempertimbangkan perspektif multikulturalisme, unsur-unsur dan proses konstruksi identitas nasional, yang semuanya harus bermuara pada tujuan untuk semakin memanusiakan masyarakat Indonesia. Habitus yang diharapkan terbangun adalah sikap dasar yang mampu menghargai dan lebih toteran pada perbedaan cultural dan religius, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, mengembangkan budaya demokratis, dan menciptakan keadilan social. Dalam konteks inilah sebuah “visi ke depan” menjadi penting.

Terkait dengan proses institusionalisasi nilai-nilai Pancasila yang bervisi ke depan, ideologi sangat penting, agar individu atau kolektivitas tersebut selalu konsisten dalam langkah dan pemikirannya serta tidak kehilangan arah. Ideologi yang tidak bertumpu pada nilai-nilai universal yang dapat menjamin kehidupan yang bermartabat (freedom to live in dignity) justru akan manimbulkan penderitaan kepada umat manusia.

Pancasila yang hanya dipandang sebagai alat pemersatu dalam era pasca kemerdekaan, yang karena kondisi obyektif bangsa masih berlanjut seperti tujuan penumbuhan paham kebangsaan tadi, pada gilirannya memang kurang menguntungkan, dan secara kurang proporsional telah meredusir peran dan fungsinya sebagai dasar negara. Sekarang diperlukan semacam konsensus politik yang baru dan jelas di tataran nasional untuk bersama-sama menata kembali dasar dan tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan ini. Sasarannya adalah mempertegas kembali kedudukan, peran dan fungsi Pancasila sebagai ideologi negara beserta semua wawasan nasional yang merupakan jabarannya. Apapun cara, forum dan bentuknya, pada akhirnya perlu ada produk yang secara hukum memiliki kekuatan mengikat seluruh komponen bangsa.

Didalam mengkontekstualisasi dan mengimplementasi Pancasila dalam Bidang Ekonomi bahwa Pancasila harus dapat ditafsir/interpretasi dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang ekonomi! Ini terus dikembangkan dengan prinsip dasar yang tetap namun terbuka untuk interpretasi yang kontekstual sejalan berkembangnya peradaban.

Apa dan mengapa nilai-nilai Pancasila yang jelas-jelas tidak menanamkan nafsu keserakahan, anti-ketidakdilan dan anti-kesenjangan tidak diimplementasikan oleh mereka-mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan tersebut ? Bagaimana Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, termasuk sebagai filsafat ekonomi, mampu menjawab persoalan-persaoalan ekonomi demikian ? Jawabnya : Pengalaman masa lalu yang berupa penyalahgunaan Pancasila oleh vested interest group; Rendahnya upaya dan kemamuan untuk menafsirkan Pancasila dalam bidang ekonomi yang lebih banyak berkiblat ke kapitalisme; Tidak ada keteladanan; Kebijakan pemerintah sendiri menyimpangi Pancasila; Social punishment dan law enforcement yang rendah.

Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yg humanistik, bukan sebaliknya mengajarkan keserakahan dan mendorong persaingan yang saling mematikan untuk memuaskan kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yang mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk sosial (homo socius) dan mahluk beretika (homo ethicus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar